Sukses Bersama Kami

Monday, March 7, 2016

Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965

Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965 - Hallo Kawan Solusi Sukses Anda,Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Article Peristiwa, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Title : Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965
link : Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965

Baca juga


Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965

Bagi siapa saja yang berusaha menyelidiki apa yang terjadi pada tahun 1965-1968, betapa pun sedikitnya, bisa dipastikan akan menemui ratusan, bahkan ribuan cerita tentang keganasan dan kebrutalan yang dilakukan oleh orang Indoensia terhadap bangsanya sendiri.

Sekitar 500 ribu orang tewas dalam tragedi itu, tapi ada juga estimasi bahwa yang tewas di atas dua juta orang. Belum lagi ratusan ribu yang ditahan tanpa proses –dan sering disiksa– pada kurun tahun 1965-1968. Paling sedikit ada 20 ribu anggota dan simpatisan PKI yang ditahan tanpa proses sampai 1979, termasuk 15 ribu yang dibuang ke kamp konsentrasi di pulau Buru.

Proses pembantaian ini sudah sering sekarang disebut sebagai “tragedi kemanusiaan 1965”. Tetapi pemakaian kata tragedi adalah sebuah penyelewengan sejarah dan seharusnya segera berhenti. Tragedi diambil dari bahasa Inggris “tragedy” yang berarti sebuah peristiwa sedih dan malapetaka. Memang pembantaian ini adalah malapetaka buat Indonesia dan jelas juga sesuatu kejadian yang sedih. Tetapi sebuah tragedi terkesan seolah sebuah kecelakaan, seolah tak ada kesengajaan di dalamnya.

Dalam kasus pembantaian 1965, pembunuhan dan teror dijalankan sepenuhnya dengan sengaja. Harus dicatat bahwa dari 500 ribu orang lebih yang tewas, hanya tujuh di antaranya yang dikategorikan anti-komunis, yaitu para perwira yang mati dalam aksi keblinger yang dilakukan oleh kelompok Gerakan 30 September. Dari tujuh orang itu, tiga meninggal ditembak di rumah (juga termasuk anak perempuan Jenderal nasution) dan lainnya memang dieksekusi sama sekali di luar proses hukum.

Sementara itu pembantaian terhadap pendukung Sukarno yang kemudian terjadi pun bukan bagian dari sebuah konflik atau perang saudara. Tidak ada niat atau kemampuan dari pihak pro-Sukarno dan pro-PKI untuk melawan balik. Pembantaian yang terjadi adalah pembantaian terencana yang dilakukan oleh militer di bawah pimpinan Suharto bersama-sama beberapa milisi partai anti-Sukarno dan anti-PKI yang dilatih dan dipersenjati oleh militer.

Menyebut peristiwa pembantaian 1965 sebagai tragedi sama artinya dengan menutupi kenyataan sejarah. Sebuah tragedi adalah sesuatu yang harus ditangisi dan disesali. Tetapi pembantaian 1965 bukan hanya sesuatu malapetaka yang meyedihkan, melainkan juga sebuah tindakan kriminal yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum yang berlaku. Karena yang terjadi saat itu bukan sebuah kecelakaan alam yang jatuh dari langit tetapi suatu kesengajaan oleh pihak kekuasaan yang dilangsungkan secara sistematik selama hampir dua tahun berturut-turut.

Sebaiknya kita semua berhenti menggunakan istilah “tragedi” lantas menggantinya dengan istilah “malapetaka anti-kemanusiaan”. Tentu saja penggantian istilah juga tidak cukup. Kalau memang terjadi pembunuhan sengaja yang sistematik terhadap orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, mestinya masih ada keadilan yang seharusnya ditegakkan.

Istilah “tragedi” juga menciptakan kesan seolah-olah apa yang terjadi pada tahun 1965 juga tanpa sebab, tanpa asal-usul. Kesan ini juga harus dihilangkan. Karena selama kesan itu ada generasi manusia Indonesia sekarang ini –kaum muda khususnya– tak akan terangsang untuk bertanya: Kenapa? Bagaimana bisa itu terjadi?

Kata “tragedi” menyebabkan sumirnya pengertian bahwa apa yang terjadi mulai Oktober, 1965 adalah bagian dari sebuah sejarah pertarungan yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an. Pertarungan itu terjadi pada soal akan kemana Indonesia dibawa setelah kemerdekaan terjadi pada 17 Agustur 1945? Pertarungan itu semakin menajam pada tahun 1960-an.

Dua kubu tumbuh berkembang sama kuatnya saat itu: kubu pertama, dipimpin secara ideologis oleh Sukarno yang menginginkan sosialisme ala Indonesia, sementara kubu lain dipimpin oleh elemen militer yang menginginkan Indonesia berkiblat ke kapitalisme.

Untuk bisa memahami pertarungan tersebut, tidak cukup berhenti dengan rumusan konflik yang sederhana. Kita harus lebih dalam meneliti apa yang dimaksud oleh dua faham itu.

Apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh kubu sosialis Sukarno? Apa programnya pada waktu itu? Hal itu merupakan sebuah studi kolektif yang perlu diadakan bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia secara terbuka dan bebas sensor dan bebas dari beban adanya sebuah “sejarah resmi” Indonesia. Dalam sebuah suasana bebas, semua ini harus digali bersama.

Beberapa hal telah diketahui bahwa sebelum 1965 kubu pro-Sukarno mencoba lakukan reformasi agraria; juga kita tahu bahwa pendidikan diusahakan gratis. Kita tahu bahwa keterlibatan rakyat kecil di dalam kegiatan politik sangat meningkat melalui gerakan-gerakan ormas-ormas besar kiri. Tetapi itu semua harus lebih diperdalam untuk mengetahui mutu dan keterbatasannya. Juga harus dipelajari ini semua mau dibawa kemana, mengingat bahwa PKI dan kiri di Indonesia sebelum 1965 belum mempunyai kedudukan di pemerintahan yang signifikan.

Mengingat juga bahwa semua ini berkembang di zaman Perang Dingin dan zaman di mana Stalinisme, baik yang berkiblat ke Moskwa maupun yang ke Beijing, sangat kuat dan di mana populisme pasca-kemerdekaan juga sangat kuat di berbagai negeri.

Kontradiksi-kontradiksi di dalam politik kubu pro-Sukarnosime dan pro-PKI juga bisa ditemukan dengan mudah. Antara lain, misalnya, prinsip pemilihan perwakilan elektoral dikorbankan oleh Sukarno dengan tak ada pemilu antara tahun 1957 dan 1965. Perdebatan dan diskusi internal di tubuh organisasi PKI juga sangat tertutup.

Tanpa pengetahuan dan pengertian tentang semua sejarah ini, persitiwa 1965 tetap akan merupakan sebuah “tragedy” yang akan ditangisi –dan itupun hanya oleh sebagian orang yang masih dibuat bingung oleh selubung misteri peristiwa itu sendiri.

Seharusnya, selain urusan menagih pertanggungjawaban atas perbuatan kriminal pembunuhan massal itu, bangsa Indonesia juga harus mampu mengambil pelajaran dari pengalaman itu demi kemajuan bangsa. Dan itu menjadi hal mustahil tanpa adanya suasana bebas untuk mempelajari sekaligus memperdebatkan kembali secara terbuka dan bersama-sama tentang peristiwa 1965-1968. Suasana yang bebas yang disertai rasa aman untuk kembali mengkaji malapetaka itu mutlak diperlukan.

(Historia.id)



Demikianlah Artikel Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965

Sekianlah artikel Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965 kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965 dengan alamat link https://solusisuksespemula.blogspot.com/2016/03/menguak-tragedi-kemanusiaan-1965.html
loading...
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Menguak Tragedi Kemanusiaan 1965

0 comments:

Post a Comment